DISHUBKOMINFO, KOTABARU - Masa Kerajaan
Menurut riwayatnya, Kabupaten Kotabaru terdapat beberapa kerajaan-kerajaan kecil diantaranya kerajaan Kusan dan Pagatan, Cengal Manunggul dan Bangkalan, Batulicin, Sebamban, Pasir, Cantung dan Sempanahan dan kerajaan besar seperti Kusan dan Pagatan, serta Pulau Laut. Diperkirakan, kerajaan-kerajaan tersebut didirikan di sekitar tahun 1786.
Kerajaan Kusan dan Pagatan didirikan sekitar tahun 1786 oleh Pangeran Amir seorang pangeran yang melarikan diri dari kerajaan Kayu Tangi akibat adanya perebutan kekuasaan dalam kerajaan tersebut. Pangeran Amir bergelar Raja Kusan I. S etelah beliau wafat diganti oleh Pangeran Musa adik dari Sultan Adam Kayu Tangi yang kemudian bergelar Raja Kusan II. Sekitar Tahun 1820 Kapitan La hanggawa diakui oleh Sultan Sulaiman (keponakan Pangeran Amir) dari Kayu Tangi sebagai raja Pagatan. Baik Raja Kusan II maupun Raja Pagatan, keduanya takluk dibawah Sultan Kayu Tangi dan diharuskan membayar upeti. Setelah Raja Kusan II mangkat, ia digantikan anaknya Pangeran Napis dan bergelar Raja Kusan III.
Pada tahun 1840, Pangeran Napis meninggal dan digantikan dengan puteranya Pangeran Jaya Sumitra yang bergelar Raja Kusan IV dan kemudian beliau memindahkan pusat kerajaan ke Salino di Pulau Laut yang terletak berseberangan dengan muara Pagatan, dan menyerahkan kerajaan Kusan kepada Arung Abdul Karim yang kemudian menjadi raja Kusan dan Pagatan. Tahun 1881 Pangeran Jaya Sumitra meninggal dunia dan diganti oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Husin Kusuma yang bergelar Raja Pulau Laut IV. Setelah pangeran Husin Kusuma meninggal saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1900, kedudukan beliau digantikan oleh putranya Pangeran Aminullah dengan gelar Raja Pulau Laut V yang merupakan raja Pulau Laut terakhir.
Masa Penjajahan Belanda & Jepang
Pada tahun 1905, pemerintah Belanda menghapuskan kerajaan-kerajaan di Pulau Laut dan Tanah Bumbu seperti Cengal Manunggul dan Bangkalaan, Cantung dan Sampanahan, Batulicin, Pulau Laut, dan Sebamban. Maksud dan tujuan penghapusan kerjaan-kerajaan tersebut tidak lain agar pemerintah Belanda dapat langsung menguasai dan mengawasi rakyat tanpa perantara dari raja-raja dari kerajaan tersebut yang kemungkinan besar akan menimbulkan kesulitan terhadap pemerintahan mereka. Maka dengan demikian berakhirlah kekuasaan raja-raja dengan seluruh pemerintahannya. Pemerintahan beralih langsung dilaksanakan dan dipegang oleh pemerintah kolonial Belanda dan hal ini berjalan hingga tahun 1942 sewaktu tentara Jepang menduduki Kotabaru dan daerah sekelilingnya. Jepang mengalami kekalahan pada Perang Dunia II pada tahun 1945 setelah dibom-nya kota Hiroshima dan Nagasaki, menandai dimulainya pergerakan kemerdekaan di wilayah Kalimantan Tenggara.
Zeefhuis bij het spooremplacement op Poelaoe Laoet 1920
Masa Pergerakan Kemerdekaan
Pada
tanggal 25 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda
melakukan perjanjian Linggarjati yang salah satu isinya menyebutkan
bahwa "Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI bersama-sama
menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdaulat dan demokratis yang
dinamai Negara Indonesia Serikat, terdiri dari Republik Indonesia,
Borneo dan Timor Besar". Kemudian karena isi perjanjian tersebut
dilanggar oleh pihak Belanda dengan mengadakan Perang Kolonial I (21
Juli 1947).
Setelah
itu atas jasa-jasa baik Komisi Tiga Negara diadakan perundingan
kembali yang dinamakan persetujuan Renville (27 Januari 1948) dimana
salah satu isi pasalnya menyatakan dalam waktu kurang dari enam bulan
dan tidak lebih dari satu tahun sesudah ditanda tangani, maka di
berbagai daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan
suara untuk menentukan apakah rakyat di daerah tersebut akan turut di
dalam Republik Indonesia atau masuk dalam lingkungan Negara Indonesia
Serikat.
Atas dasar kedua persetujuan tersebut penguasa Belanda/NICA membentuk Pemerintahan dengan nama Dewan Kalimantan Tenggara dan lanschap-lanschap, kemudian Pemerintah Belanda mengadakan plebisit
di seluruh penduduk untuk menentukan pilihan apakah masuk ke Republik
Indonesia, Borneo atau Timur Besar yang diadakan di sekolah Rakyat
Baharu (Sekarang SDN Akhmad Yani / SDN Batuah). Hasil dari plebisit tersebut, penduduk tetap menghendaki Kalimantan Tenggara sebagai daerah Republik Indonesia.
Setelah
mengetahui keinginan rakyat Kalimantan Tenggara, penguasa Belanda
waktu itu tidak mau melaksanakan apa yang dikihendaki rakyat tersebut,
sehingga mendapat perlawanan dari pemuda yang ingin bergabung dengan
Pemerintah Republik Indonesia dan pada bulan Oktober 1949 bendera merah
putih dikibarkan di Pasar Pagatan, kemudian membentuk suatu Badan yang
bernama Komite Nasional Indonesia Kotabaru dan Komite Nasional
Indonesia Pagatan. Disamping mengadakan demonstrasi-demontrasi,
tuntutan-tuntutan berupa mosi, resolusi dan sebagainya, pada bulan
Pebruari 1950 berangkatlah sebuah delegasi atas nama Rakyat Daerah
Kalimantan Tenggara menuju Yogyakarta dan Jakarta untuk menghubungi dan
menyampaikan resolusi kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat.
Setelah delegasi tersebut kembali ke Kotabaru dan Pagatan, keadaan
pergolakan yang menuntut dibubarkannya Dewan Kalimantan Tenggara dan
masuknya Kalimantan Tenggara kedalam Republik Indonesia di Jogyakarta
makin memuncak. Untuk mencegah agar Dewan Kalimantan Tenggara ketika itu
jangan dibubarkan secara paksa oleh rakyat, maka dewan kembali
mengambil kebijaksanaan untuk mengirim utusan ke Yogyakarta dan ke
Jakarta untuk menemui Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Republik Indonesia Serikat. Adapun delegasi tersebut diwakili oleh M.
Jamjam (Dewan Kalimantan Tenggara), A. Imberan (Dewan Lanschap Cantung Sampanahan), K.H. M. Arief (Dewan Lanschap Pulau Laut), K. Asyikin Noor (Dewan Lanschap Pagatan).
Pada
tanggal 4 April 1950 Dewan Kalimantan Tenggara dibubarkan dan
dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta) lewat
Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 137 dan nomor 138,
kemudian pada tanggal 29 Juni 1950 dikeluarkan surat keputusan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia tentang pembentukan wilayah-wilayah
Pemerintah yaitu Kabupaten-Kabupaten, Daerah-Daerah Swapraja dalam
propinsi Kalimantan. Maka daerah Kalimantan Tenggara dulu diubah
menjadi Kabupaten Kotabaru dengan ibukotanya adalah Kotabaru, sedang
yang diangkat sebagai kepala Daerah adalah M. Yamani. Sesudah itu
keluar Peraturan Pemerintah tanggal 30 Juni 1950 sebagai pengganti
Undang-undang No. 2 tahun 1950 tentang Pembentukan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Sementara dan Dewan Pemerintahnya untuk seluruh daerah
Republik Indonesia. Yang kemudian diikuti dengan surat Keputusan
Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 No. 186/OPB/92/14 di dalam
Bab II pasal 4 menyatakan bahwa Badan-Badan Pemerintah Kabupaten terdiri
dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pemerintah Daerah.
Pelabuhan Kotabaru 1950
Pergolakan Daerah
Setelah
pengakuan kedaulatan, sebagai hasil perjuangan mempertahankan
kemerdekaan RI, berbagai ‘pergolakan daerah’ terjadi sebagai ungkapan
ketidakpuasan terhadap Pemerintah Pusat. PRRI / Permesta, DI / TII,
dan RMS adalah contoh pergolakan tersebut. Di Kalimantan Selatan, DI /
TII pimpinan RM Kartosuwiryo ‘merembet’ ke Kotabaru.
Berawal
dari kekecewaan Ibnu Hajar, mantan prajurit Divisi IVB ALRI (A) yang
tidak puas atas perlakuan terhadapnya dan kawan-kawan seperjuangan,
membentuk organisasi gerilya, Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas
(KRIyT). Penyebabnya adalah (sumber: Van Dijk, 1983 : 229) persoalan
demobilisasi dan rasionalisasi terhadap unsur-unsur Divisi IV ALRI sejak
awal triwulan pertama 1950. Divisi pimpinan Ibnu Hajar telah
melakukan upaya-upaya memajukan agama Islam dan syari’at Islam.
Semangatnya sejalan dengan gerakan di Aceh menjadi negara Islam, yang
menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan SM Kartosuwiryo.
Kebangkitan
DI / TII atau NII berbarengan dengan rasionalisasi di tubuh Tentara
Republik Indonesia. Bagi sebagian mantan pejuang di Kalimantan Selatan
yang bergabung dengan TNI, dirasakan adanya diskriminasi. Banyak
mantan prajurit Divisi IV ALRI (A) yang terkena demobilisasi dan tidak
diakui sebagai veteran dan tidak menerima pensiunan.
Bagi
sebagian masyarakat dan mantan pejuang di Kotabaru, gerakan Ibnu Hajar
mendapat simpati. Gerakan ini merupakan ungkapan ketidakpuasan
terhadap pemerintah pusat, dan bukan memerangi rakyat Kalimantan
Selatan. Gerakan Ibnu Hajar adalah fakta perjalanan bangsa yang menjadi
pelajaran berharga. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 449 Tahun 1961 tentang pemberian amnesti dan abolisi
kepada orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan.
Gerakan
ini kemudian menyebar ke Barabai, Birayang, Batumandi, Paringin Kelua,
Kandangan dan seterusnya, khususnya di kalangan mantan prajurit Divisi
IV ALRI (A). Namun akhirnya, pada bulan Juli 1963, Ibnu Hajar dan
pengikutnya menyerahkan diri di Desa Ambulun, Hulu Sungai Selatan.
Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa dia tetap mencintai negara ini dengan
menyatakan bahwa “apabila negara membutuhkannya ia bersedia mengabdi
pada republik dan ia beserta pengikutnya bersedia dilibatkan dalam
konfrontasi dengan Malaysia”. Aktivitas gerilya berakhir di tahun
1969, diawali janji pemerintah bahwa tidak ada pengadilan bagi
gerombolan, dan diikuti dengan pemberian amnesti dan abolisi oleh
pemerintah, seperti tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
nomor 449 tahun 1961 Tentang pemberian amnesti dan abolisi kepada
orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan.
SMP 268 (SMPN 1 Kotabaru) - Agustus 1958.
Tampak di belakang adalah komplek penampungan bekas kelompok KRIyT.
Kotabaru membangun
Wilayah
Kabupaten Kotabaru menurut undang-undang darurat Nomor 3 tahun 1953
tentang pembentukan (Resmi) Daerah Otonomi Kabupaten / Daerah Istimewa
Tingkat Kabupaten dan Kota Besar dalam lingkungan Daerah propinsi
Kalimantan menyatakan bahwa wilayah Kabupaten Kotabaru meliputi
Kawedanan-kawedanan Pulau Laut, Tanah Bumbu Selatan, Tanah Bumbu Utara
dan Pasir. Kemudian dengan Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1953
sebagai undang-undang dan menyatakan bahwa wilayah Kabupaten Kotabaru
dikurangi dengan Kawedanan Pasir.
Kantor Pemda Kotabaru
Nama-Nama Bupati Kabupaten Kotabaru
No. | Nama Kepala Daerah | Priode | Keterangan |
1. | M. Yamani | 1950-1951 | Bupati |
2. | Abdul Rasjid | 1951-1955 | Bupati |
3. | Ibrahim Sedar | 1955-1958 | Bupati |
4. | H. Abdul Muluk | 1958-1959 | Bupati |
5. | H. A. Hudari | 1960-1963 | Bupati |
6. | Basrindu | 1963-1969 | Bupati |
7. | H. Gt. Syamsir Alam | 1969-1980 | Bupati |
8. | N. Sutejo | 1980-1985 | Bupati |
9. | H. M. R. Husein | 1985-1990 | Bupati |
10. | Tata M. Anwar | 1990-1995 | Bupati |
11. | M. B. A. Bektam | 1995-2000 | Bupati |
12. | Sjachrani Mataja dan Akhmad Rizali | 2000-2005 | Bupati & Wakil Bupati |
13 | Sjachrani Mataja dan Fatizanolo S. | 2005-2010 | Bupati & Wakil Bupati |
14 | H. Irhami Ridjani dan Rudy Suryana. | 2011-2016 | Bupati & Wakil Bupati |
Artikel Terkait
0 komentar:
Posting Komentar